Sejarah Lokal
Mari
Belajar pada Kamandaka dan Ningrat Kancana*
LEGENDA
Kamandaka di wilayah Banyumas sangat populer. Bahkan tahun 1970 dibuat diaromanya
di obyek wisata Guha Jatijajar di Purwokerto, berupa beberapa patung,
menggambarkan perjalanan Kamandaka dari Kerajaan Padjadjaran (Bogor) hingga
menjadi adipati Pasirluhur serta
kejadian-kejadian yang dialaminya.
Dalam
Babad Pasir disebutkan nama asli Kamandaka adalah Banyak Catra, putra
mahkota Pajajaran, pengganti ayahnya, Prabu Siliwangi. Waktu akan diangkat
jadi raja, dia menolak. Alasannya belum punya istri. Banyak Catra, seperti Guru
Minda (cerita pantun Lutung Kasarung), ingin mempunyai istri yang mirip ibunya.
Bedasarkan
anjuran petapa, dia mengelana ke wilayah keadipatian Pasirluhur, daerah
bawahan Kerajaan Galuh, dan biasa disebut Galuh Wetan. Pusat pemerintahan
Pasirluhur di sekitar Baturaden, di
lereng Gunung Slamet. Selama menggembara dia menyamar jadi rakyat biasa, namanya
pun diganti jadi Kamandaka.
Di
Pasirluhur, dia bertemu dengan Dewi Ciptarasa, anak bungsu Adipati Pasirluhur.
Dewi Ciptarasa mirip sekali dengan ibu
Kamandaka. Kamandaka pun jatuh cinta dan dia tidak bertepuk tangan sebelah.
Tapi karena sedang menyamar dia menjalin cinta secara backstreet.
Suatu
ketika, waktu keduanya sedang bertemu di Taman Kaputren, prajurit keadipatian
memperogokinya. Kamandaka meloloskan
diri. Bersamaan dengan itu, putra Prabu Siliwangi, adik Kamandaka, Silihwarni
atau Banyak Ngampar, tiba di Pasirluhur untuk
mencari kakaknya, Banyak Catra.
Adipati
Pasirluhur meminta Silihwarni menangkap Kamandaka. Silihwarni memenuhi
permintaan itu, karena ia tidak mengira Kamandaka adalah kakaknya yang sedang ia cari. Keduanya mengadu kesaktian dan Silihwarni
mampu melukai Kamandaka dengan Kujang
Pamungkas, senjata pusaka Kerajaan Pajajaran.
Kamandaka
kemudian berlari ke dalam guha. Dari
dalam guha, Kamandaka memberitahu dia putra Prabu Siliwangi. Silihwarni terkejut, dan mengatakan dia juga
putra Prabu Siliwangi yang disuruh ayahnya mencari Banyak Catra. Namun Kamandaka tidak
mau diajak kembali ke Pajajaran..
Kenapa
Kamandaka tidak ingin kembali ke Pajajaran padahal dia putra mahkota? Di
keraton Pajajaran terdapat ketentuan barang siapa yang pernah terluka akibat
senjata pusaka Kujang Pamungkas tidak bisa menjadi raja. Karena pernah terluka
oleh Kujang Pamungkas, Kamandaka tidak bersikeras untuk menjadi raja.
Legenda
serupa yang membuat hak menjadi raja gugur terdapat di Kawali Ciamis, Jawa
Barat. Prabu Ningrat Kancana, raja Galuh yang berpusat di Kawali harus meletakan
jabatannya karena melanggar purbajati purbatisti (ketentuan). Dia
mengawini wanita yang sudah bertunangan.
Dalam
catatan sejarah, jaman Prabu Wastukancana (1371-1475) Sunda dan Galuh
disatukan, pusat kerajaannya di Kawali Ciamis. Sepeninggalnya, kerajaan dibagi
dua, masing-masing kerajaan dipegang oleh dua putra Prabu Wastukancana yang
berlainan ibu. Ningrat Kancana menjadi raja Galuh, dan Susuk Tunggal menjadi
raja di Sunda, di Pakuan-Padjadjaran (Bogor).
Legenda
di Desa Sandingtaman, Kecamatan Panjalu, Kabupatén Ciamis, desa yang tidak
begitu jauh dari Situs Sejarah Astana Gede Kawali, menceritakan jaman Ningrat Kancana, Kerajaan
Galuh pernah kedatangan pengungsi dari Majapahit setelah raja terakhir Majapahit,
Prabu Kretabumi (Brawijaya V), jatuh.
Pelarian
dari Majapahit ini dipingpin oléh Baribin, saudara seayah Prabu Kretabumi.
Walaupun Majapahit pernah menyakiti kakeknya, Prabu Linggabuwana, dalam Perang
Bubat, Ningrat Kancana menerima dengan baik orang-orang Majapahit. Baribin
dijodohkan dengan Ratna Ayu Kirana, putri bungsu Ningrat Kancana.
Ningrat
Kancana sendiri jatuh hati pada salahseorang putri keraton Majapahit. Mereka
kemudian menikah. Padahal putri trah Majapahit itu sudah bertunangan.
Dalam naskah kuna Carita Parahyangan (CP) menikahi wanita yang sudah
bertunangan sangat tidak diperbolehkan (estri larangan ti kaluaran), dan
apabila melanggarnya merupakan perbuatan tercela.
Mendengar
kabar itu Susuk Tunggal sangat marah. Dia bermaksud akan menggempur Kawali. Berkat campur tangan penasihat di dua kerajaan
dan berkat Jayadéwata, putra Ningrat Kancana dan menantu Susuk Tunggal perang
saudara bisa dihindari.
Kemarahan
Susuk Tunggal, menyadarkan Ningrat
Kancana, dia telah melanggar purbatisti purbajati kerajaan. Dia mengundurkan
diri. Galuh diserahkan kepada Jayadewata.
Susuk Tunggal pun menyerahkan Sunda kepada menantunya. Jayadewata yang kemudian
bergelar Sri Baduga Maharaja menyatukan kembali Galuh dan Sunda, pusat
kerajaannya dipindahkan ke Pajajaran.
Apa
yang dipetik dari kedua legenda tersebut? Calon raja, calon pemimpin, raja,
pemimpin, tidak boleh melakukan perbuatan yang melanggar, norma, etika, dan
peraturan yang telah disepakati bersama. Raja, pemimpin, calon raja, calon
pemimpin harus benar-benar bersih, dan taat pada aturan.
Pemimpin
dan calon pemimpin tidak boleh tercela di mata masyarakat. Agar kewibawaannya tetap
terpancar, agar kepemimpinannnya mendapat dukungan yang baik dan agar
masyarakat tetap percaya seratus persen semua kebijaksanaannya benar-benar
untuk kepentingan negara.
Apabila
calon pemimpin dan pemimpin melanggar aturan dan norma maka kepemimpinannya
tidak akan mendapat legitimanasi kuat dari masyarakat. Masyarakat pun
meragukannya. Wibawanya telah merosot dan sulit untuk dipulihkan lagi.
Oleh
karena itulah Kamandaka tidak keukeuh (tidak ngotot) menjadi raja di
Pajajaran walaupun dia putra mahkota. Demikian juga Ningrat Kancana, tidak
mempertahankan kedudukannya, memilih mengundurkan diri. Demi kepentingan
kerajaannya Kamandaka dan Ningrat Kancana rela untuk tidak menjadi raja.***
Dimuat di Koran Harian Umum Galamedia, 15 September 2016
Dimuat di Koran Harian Umum Galamedia, 15 September 2016
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus