Kearifan Lokal Sunda
Kadal Meteng
Deteksi Dini Bencana Longsor*
Kadal meteng. Begitu salahsatu kearifan lokal di masyarakat Kecamatan Talegong, Kabupaten Garut. Kadal adalah nama sejenis hewan, menurut ahli biologi kadal termasuk hewan purba yang masih hidup hingga saat ini. Meteng, bahasa Jawa, di Tatar Sunda juga pernah digunakan, artinya hamil. Kadal meteng artinya kadal yang sedang hamil.
Lahirnya kearifan lokal, seperti halnya kadal meteng merupakan jawaban manusia terhadap keadaan alam tempat tinggalnya. Karena itulah kearifan lokal di masyarakat yang tinggal di pantai, umpamanya, berbeda dengan kearifan lokal di masyarakat yang tinggal di pegunungan. Yang sama tujuannya: agar manusia mampu hidup harmonis dengan alam.
Kenapa di Talegong muncul kearifan lokal kadal meteng? Kecamatan Talegong, luasnya 19896,6 héktar, sebelah utara bertapal batas dengan Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung, sebelah timur dan selatan dengan Kecamatan Cisewu, merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian antara 500 meter dari permukaan laut (mdpl) hingga 1136 mdpl.
Kecamatan Talegong merupakan hasil pemekaran Kecamatan Cisewu, 26 Desember 1983. Nama Talegong diambil dari salahsatu nama kampung yang ada di desa yang dijadikan pusat pemerintahan Kecematan Talegong. Berdasarkan cerita rakyat, Talegong berasal dari kata taraje lega nu ngagoong ‘tangga luas yang bersuara menggema seperti bunyi goong’.
Cerita rakyat yang lain menyebutkan nama Talegong berasal dari kata “tali goong”. Di sebuah kampung terdapat pohon kiara yang besar berusia ratusan tahun, masyarakat menamainya Kiara Goong, Konon dari kiara ini sering terdengar bunyi goong. Pohon kiara ini dianggap tempat menggantungnya goong tersebut, sehingga disebut juga tali goong.
Pendapat lain menyebutkan talegong diambil dari istilah tembang Sunda. Dalam tembang Sunda ada yang disebut tatalegong. Setelah selesai tatalegong: melewati panuntun, karancagean, jiwa bakal sadar akan tata dan aturan kehidupan. Inilah yang disebut talegong: kesadaran untuk beperilaku baik. Dalam tembang Sunda juga terdapat wanda garutan.
garutkab.go.id
Keadaan geografi Kecamatan Talegong yang memiliki tujuh desa ini, Desa Mekarmukti,Mekarmulya, Mekarwangi, Selaawi, Sukalaksana, Sukamaju, dan Desa Sukamulya, hampir tidak memiliki lahan datar. Sebanyak 91% dari luas Kecamatan Talegong, kemiringan lerengnya lebih dari 40%, sisanya, 9%, antara 15% sampai 40%.
Tidaklah heran rumah-rumah di Kecamatan Talegong boleh dikatakan berada di sela-sela tebing, termasuk kantor Kecamatan Talegong, di belakangnya tebing di depannya juga tebing. Jalan pun, baik jalan propinsi yang menghubungkan Pangalengan-Talegong-Cisewu-Rancabuaya, maupun jalan desa dan kacamatan, kadang-kadang di bawah tebing kadang-kadang di atas tebing.
Dalam skorsing kelas lereng yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) Nomor 41/PRT/M/2007 tentang Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budi Daya disebutkan kemiringan lereng dari 45% ke atas dikategorikan kelas lereng paling tinggi, tingkat 5, sangat curam. Kemeringan 25%-45% digolongkan curam.
Peraturan menteri tersebut mengatur pemukiman, termasuk sarana dan prasarananya, harus pada lahan yang kemiringan lerengnya antara 0-25%. Pemukiman harus di lahan datar (kemiringan 0-8%), landai (kemiringan 8-15%), dan di lahan yang agak curam (kemiringan 15%-25%). Kemiringan lereng 25% merupakan batas atas untuk lahan pemukiman.
Permen itu juga mengatur kawasan pertanian hanya sampai pada lahan yang kemiringan lerengngya sampai 40%. Itu pun harus memperhatikan konservasi, bahkan pada kemiringan 15%-40% tindakan konservasi, baik vegatatif (pepohonan) maupun mekanik (buatan seperti saluran pembuangan air yang ditanami rumput) harus benar-benar diperhatikan.
Kemiringan lereng di atas 40% tidak diatur dalam permen tersebut. Dengan kata lain lahan yang kemiringannya di atas 40% tidak diperkenankan untuk dijadikan lahan pemukiman, pertanian, bahkan untuk hutan produksi pun tidak diperbolehkan, harus dijadikan hutan lindung atau kawasan konservasi, leuweung tutupan, kata orang Sunda.
Mengacu pada Permen PU tadi, Kecamatan Talegong sebenernya tidak layak jadi kawasan pemukiman. Kecamatan Talegong, yang 91% dari luasnya memiliki kemiringan lereng di atas 40%, harus dijadikan kawasan hutan lindung yang pepohonan dan binatangnya samasekali tidak boleh diganggu. Apabila tidak dijadikan kawasan hutan lindung, akan terjadi banyak longsor.
Karena tidak sesuai dengan peruntukannya itulah, Kecamatan Talegong merupakan kecamatan di Kabupaten Garut, bahkan di Provinsi Jawa Barat, yang paling rawan bencana longsor, terutama pada musim hujan. Bencana longsor ini bukan hanya terjadi pada jaman sekarang, tetapi juga semenjak dijadikan pemukiman.
Berdasarkan pengalaman selama puluhan bahkan ratusan tahun, para leluhur masyarakat Talegong lalu merumuskan ciri alam apabila akan terjadi longsor: kadal meteng. Istilah kadang meteng dipakai untuk keadaan tanah, pada musim hujan, yang dipermukaannya kering tetapi di dalamnya mengandung banyak air sehingga tanahnya seperti lumpur.
Ciri tanah yang sudah kadal meteng: mucul mata air baru, dan pepohonan tiba-tibang miring, tapi permukaan tanah tetep kering, tidak becek. Jika sudah melihat tanda-tanda ini warga yang rumahnya berdekatan dengan lokasi, segera mengungsi ke tempat lain, atau setidaknya meningkatkan kewaspadaan untuk mengantisipasi terjadinya longsor.
Begitulah cara leluhur masyarakat Kecamatan Talegong agar bisa hidup harmonis bersama alam. Sayangnya kearifan lokal kadal meteng ini sudah dilupakan. Mengingat Kecamatan Talegong daerah rawan longsor, kearifan lokal kadal meteng semestinya diperkenalkan lagi pada masyarakat agar mampu mendeteksi sedini mungkin terjadinya longsor.*** Nanang Supritna
(Alumni Fakultas Ilmu Budaya Undip Semarang, wartawan SKM Galura, mahasiswa Pascasarjana Uninus Bandung, tahun 2013 bersama Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Garut mendata warisan budaya tak benda di sepuluh kecamatan di Kabupaten Garut).
*Dimuat di Harian Umum Galamedia, Jumat 16 Desember 2016
Komentar
Posting Komentar